Jakarta (ANTARA News) - Aslinya harpa adalah alat musik dari Eropa yang sangat jauh dari Tanah Batak di Sumatera Utara. Dentingan dawai-dawainya juga bercita rasa sangat berbeda dengan gondang Batak dan musik Batak yang khas itu.
“Aku berkolaborasi dengan prodigi asal Tarutung, namanya Roland Tobing pada Festival Kasih Natal Tapanuli Utara 2016,” kata peharpa Maya Hasan. Dia memang gemar mengeksplorasi kekayaan seni budaya nasional untuk diperkaya dalam khasanah musik Indonesia.
Maya menuturkan, di Jakarta, beberapa waktu lalu, gelaran musik di Tarutung, Sumatera Utara, itu sungguh unik dan menyentuh.
“Aku bersama Rita Butarbutar dan Jay Wijayanto diminta menjadi juri di sana. Aku juga tampil dengan busana tradisional Batak, ulos tumtuman dari Pancur Napitu Silindung, lengkap dengan tusuk konde khas Batak. Senang sekali,” kata perempuan lulusan Willamette University, Oregon, Amerika Serikat itu.
Di balik penampilannya membawakan lagu yang sangat menyentuh bagi suku Batak, "O Tano Batak", dia menyinggung tentang busananya.
“Aku senang sekali mengenakan busana-busana yang mengangkat kembali nilai-nilai luhur busana nasional. Karena, aku mencoba untuk menginspirasi wanita Indonesia untuk mencintai busana daerahnya kembali. Agar kecintaan itu jangan punah,” kata dia.
Memainkan alat musik serius dari Barat bernama harpa bukan berarti Maya kehilangan roh dan akar budayanya. Justru sebaliknya.
“Lagu-lagu daerah dan nasional kita, juga busana-busana tradisional kita, dipadukan dengan harpa. Semoga menjadi cermin bangsa Indonesia yang tidak melupakan akar budayanya walau sudah terbuka terhadap kebudayaan Barat,” kata dia.
"O Tano Batak", lagu yang sering diperdengarkan setiap ada perhelatan di kalangan suku Batak, adalah lagu yang melodius bagi Maya.
“Aku tanya kepada Mas Jay apa arti lirik 'O Tano Batak'. Dijelaskan bahwa lagu ini adalah pemujaan dan lukisan kerinduan mendalam serta cinta yang amat sangat terhadap tanah kelahiran, tanah Batak. Saat diterjemahkan satu demi satu kata, aku langsung merancang intro lagu itu,” katanya.
“Jujur, aku terpesona karena melodi lagu ini sangat indah,” kata dia.
Maya menuturkan, di Jakarta, beberapa waktu lalu, gelaran musik di Tarutung, Sumatera Utara, itu sungguh unik dan menyentuh.
“Aku bersama Rita Butarbutar dan Jay Wijayanto diminta menjadi juri di sana. Aku juga tampil dengan busana tradisional Batak, ulos tumtuman dari Pancur Napitu Silindung, lengkap dengan tusuk konde khas Batak. Senang sekali,” kata perempuan lulusan Willamette University, Oregon, Amerika Serikat itu.
Di balik penampilannya membawakan lagu yang sangat menyentuh bagi suku Batak, "O Tano Batak", dia menyinggung tentang busananya.
“Aku senang sekali mengenakan busana-busana yang mengangkat kembali nilai-nilai luhur busana nasional. Karena, aku mencoba untuk menginspirasi wanita Indonesia untuk mencintai busana daerahnya kembali. Agar kecintaan itu jangan punah,” kata dia.
Memainkan alat musik serius dari Barat bernama harpa bukan berarti Maya kehilangan roh dan akar budayanya. Justru sebaliknya.
“Lagu-lagu daerah dan nasional kita, juga busana-busana tradisional kita, dipadukan dengan harpa. Semoga menjadi cermin bangsa Indonesia yang tidak melupakan akar budayanya walau sudah terbuka terhadap kebudayaan Barat,” kata dia.
"O Tano Batak", lagu yang sering diperdengarkan setiap ada perhelatan di kalangan suku Batak, adalah lagu yang melodius bagi Maya.
“Aku tanya kepada Mas Jay apa arti lirik 'O Tano Batak'. Dijelaskan bahwa lagu ini adalah pemujaan dan lukisan kerinduan mendalam serta cinta yang amat sangat terhadap tanah kelahiran, tanah Batak. Saat diterjemahkan satu demi satu kata, aku langsung merancang intro lagu itu,” katanya.
“Jujur, aku terpesona karena melodi lagu ini sangat indah,” kata dia.
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2017
0 comments:
Post a Comment